"Nak, selamat ya," doaku di dalam hati. Namun, tak terasa getaran disana tetap seperti sebelumnya. Sementara, ini memasuki bulan kelima jika kuhitung berdasarkan perhitungan medis.
**
Mas Karyo datang tergopoh dengan cangkul di pundaknya. Kulihat matahari bahkan belum lingsir, jelas kedatangannya membuatku heran. Tanpa tedeng aling-aling Mas Karyo langsung bertanya.
"Ti, apa perlu kita ke Kyai Sujai?" napasnya memburu.
"Kenapa,Kang?" aku heran.
"Kamu ingat tiga tahun lalu? Bayi itu. Aku masih ingat ikut menggali," wajahnya tertunduk lesu.
"Mas!" dengan cepat aku memotong. Aku menatapnya tajam lalu beringsut ke kamar.
Aku paham, Mas Karyo sangat khawatir. Bukan semata karena gerhana. Ini adalah kehamilan pertamaku sejak empat tahun usia pernikahan kami. Penantian yang cukup lama baginya untuk memiliki seorang anak. Akan tetapi, yang kuharap darinya dalam situasi seperti ini adalah meyakinkanku, bukan ikut khawatir dan bicara yang tidak-tidak. Sebab, tanpa kuucapkan, ada jurang cemas yang begitu dalam di dadaku. Suara gemeretak dahan yang tertiup angin semakin membuat ciut nyaliku untuk menghadapi malam ini. Aku ingin pagi segera datang, bahkan melewati malam ini untuk tidurpun tidak berani aku lakukan.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Mas Karyo membawa segelas air putih. Wajahnya masih basah. Sembari tersenyum ia menyodorkan gelas kepadaku. Aku meminumnya setelah Mas Karyo menuntunku berdoa. Wajahnya berbeda dengan sore tadi.Kali ini tampak meyakinkan dan menebar senyum. Ia sangat luwes meladeniku, memijit kakiku, mengipasiku, bahkan menanyakan apakah aku mengantuk atau lapar.
"Kita sudah sembahyang gerhana, Ti.Kita juga sudah membaca doa dan mengaji. Air dari kyai sudah kau minum dan kuusapkan diperutmu. Pasti bayi kita selamat," ucap Mas Karyo meyakinkan. Aku mengangguk.
Kutatap langit yang menyisakan satu bintang. Terdengar zikir panjang dari surau di ujung kampung. Sampai beberapa saat aku hanya mendengarkan Mas Karyo mengaji. Aku mencoba meyakini apa yang dikatakan Mas Karyo, meski sesungguhnya rasa khawatir tetap menggelayut.Di depan mataku, peristiwa-peristiwa kelahiran berakhir di tangan kekuatan yang tidak terpahami. Gerhana bulan menjelma Izrail, merenggut harapan ibu-ibu hamil di kampungku.
"Sudah berlalu, Ti.Kamu mau tidur?"Akumengangguk. Mas Karyo memapahku masuk ke kamar.
"Apakah kamu tidak masuk ke kolong? Semoga tidak terjadi apa-apa ya," sontak mataku terbuka, menatapnya tajam sambil menahan sesak yang kembali hadir. Mataku mengembang.Mas Karyokaget dan merasa bersalah. Kurapalkan nama Tuhan sambil terpejam,selamet, selamet, selamet.***
Cirebon, November 2018
Karya: Marleni Adiya
Artikel Terkait
IMK Baksos: Ngabdi Diawali dengan Launching dan Diskusi Buku
Fakta Unik Paus Biru , Hewan Yang Terancam Punah
Daftar Makanan Ini Ternyata Bukan Berasal Dari Indonesia
Pojok Sastra: Cerita Pendek Berjudul Sundal